Kemarin aku menyaksikan pemandangan
itu lagi, menyedihkan, sempat membuatku tak percaya. Beberapa perempuan
paruh baya hampir renta bergulat dengan palu serta setumpuk batu kali
besar. Sekali-kali terdengar dengusan nafas lelah berpijar di antara
tumpukan batu-batu kecil hasil ketukan palu. Seember pecahan batu kali
dihargai Rp 1.750,-. Karena usia telah merambat jauh, paling hanya bisa
menghasilkan 10 ember. Padahal, pekerjaannya dimulai pukul 9 pagi sampai
menjelang pukul 3 sore. Tanpa lelah dikerjakan semuanya, nyaris tanpa
keluhan. Yang diketahui inilah caranya untuk bertahan hidup tanpa
meminta belas kasihan sesama. Cukuplah belas kasihan sang Pencipta.
Salah satu dari perempuan perkasa pemecah batu itu adalah mbok Suwarni,
begitu orang-orang menyapanya. Diusianya yang memasuki 57 tahun, hanya
pekerjaan itu yang menjadi harapannya untuk menyambung hidup
Sejak usia 13 Tahun, mbok Suwarni
sudah melakukan pekerjaan ini dengan setia, membantu meringankan beban
orang tua. Bahkan, meski sudah menikah, serta sudah mempunyai 7 orang
cucu dirinya masih bekerja sebagai pemecah batu kali. Kakinya seolah tak
mampu bergeming melangkah pada mata pencaharian lain, untuk membantu
menopang kehidupan keluarga. Suaminya yang seorang tukang becak belum
bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga untuk disebut layak. Tak pelak
lagi, mbok Suwarni harus tetap turun tangan mempertahankan hidup bersama
suami, anak dan cucunya.
Desa Kotakan, di Kabupaten
Situbondo, bagian timur Pulau Jawa tempatnya tinggal dan menghabiskan
sisa hidup, bukanlah tempat yang ramah untuknya. Di desa ini hampir
semua warganya bekerja sebagai pemecah batu kali. Tapi, anehnya yang
bekerja sebagai pemecah batu kali banyak dilakukan oleh kaum hawa.
Sebagai pekerjaan yang tergolong kasar, tetapi tetap dilakukan perempuan
di Desa Kotakan. Itu demi untuk membantu dan menopang ekonomi keluarga.
Seperti juga yang lainnya, mbok Suwarni memang tak punya pilihan lain.
Tak cukup pendidikan yang dipunyainya untuk mendapat pekerjaan yang
lebih baik. Ini memang pilihan termudah yang bisa diraih untuk bertahan
hidup. Keluhan hampir tak pernah terucap dari bibirnya, menurutnya
manusia sudah diberi sesuai dengan takarannya masing-masing. “Gusti
Allah tak pernah salah atau keliru dalam memberi, sebab hanya Dia Yang
Maha Tahu,” ucapnya.
Bergemanya suara adzan untuk
sholat Ashar mengusik obrolan ini, mbok Suwarni pun berkemas-kemas untuk
pulang ke rumahnya yang tak jauh dari tempatnya bekerja. Hari ini 9
timba pecahan batu dia hasilkan, Uang sejumlah Rp 15.250,- adalah hasil
kerja kerasnya yang diharapkan bisa membantu kebutuhan hidup
sehari-hari. Inspirasi kekuatan jiwa yang tak pernah mudah pudar walau
harus berhiaskan kerja keras dan derasnya keringat yang bercucuran .
Oleh : Ratna Hermawati
Sumber : sosok.kompasiana.com